Banyak kata-kata mutiara yang tersebar di sepanjang jalan, mulai dari sepanduk kecil hingga lebar yang samapi puluhan meter. Kami berbaik sangka saja. Kami yakin dan percaya itu suara hati dari nuranimu. Ada banyak kata-kata indah yang selalu terbayang dalam ingatan kami, masih segar dalam ingatan, dari kata-kata yang mesra sampai kata-kata yang begitu tegas.
“Gagasan dan harapan masa depan bagi terciptanya kebijakan politik di Indonesia” kalimat bijak disalah satu sepanduk, “Total untuk rakyat” isi spanduk lainnya. Isi sepanduk berikutnya “Berjuang bersama rakyat”, “Berkata dengan jujur, berbuat dengan tanggung jawab, melangkah dengan hati nurani” dan masih banyak lagi. Sungguh kata-kata yang puitis.
Kami terima engkau di desa kami setelah melewati terjal dan dalamnya kubangan lumpur jalanan di desa kami dan kau akan meratakan jalan bagi anak-anak kami, memberi cahaya di menja belajar putra-putri kami, menurunkan angka gizi buruk, kemudian berkumpul dilapangan membagikan bingkisan. Kau menebar amal kebaikan. Kau sungguh baik dan sangat baik. Namun, dibalik kebahagian dan cita-cita besarmu itu ada kegusaran yang mampir di jiwa, ada pertanyaan yang berkelabat. Ketulusankah yang kau berikan itu? Kemanakah engkau selama ini? Jika engkau betul-betul mempertjuangkan rakyatmu.
Berkali-kali masyarakat didatangi calon pemimpin, mulai tingkat kepala desa, calon walikota, hingga calon anggota DPRD. Ada yang berjanji mengaspal jalan, listrik masuk desa, mensejahterakan masyarakat. Namun, tujuh puluh tiga tahun Indonesia merdeka, hanya ada kata-kata mutiara yang sampai ke masyarakat kami. Berbagai trik dan strategi disiapkan untuk menggiring opini publik bahwa pasangan mereka layak didukung dan layak memimpin. Janji manis beracun telah dijadikan alat untuk meraih simpati dan mendongkrak perolehan suara. Kini tujuh puluh tiga tahun akan segera berlalu, haruskah ada jeritan lagi dari pelosok negeri, untuk meminta keadilan pemerataan pembangunan ifrastruktur.
Sekarang ini adalah suatu zaman milenial akan tetapi masih nampak banyak kesenjangan sosial dalam kepemimpinan para pejabat pemerintahan. Sulitnya masyarakat negeri ini untuk mendapatkan pemerataan pembangunan yang layak, yang sebagaimana mestinya mereka dapatkan.
Akan kemanakah nasib anak dan cucu kita sebagai tunas bangsa negeri ini jika para pemimpin kita tiada peduli yang dipikirkan hanyalah kursi?
Apakah undang-undang yang lemah ataukah para pemimpin kita yang tiada sadar dan tidak menjalankannya?
Saat ini gencar-gencarnya para parpol berlomba-lomba mendapatkan suara dengan segala cara mereka halalkan. Orasi dikumandangkan, santunan dijalankan, semuanya hanyalah kebohongan demi kursi yang mereka dambakan. Anak negeri ini layaknya tumbuhan yang selalu berkembang, jika tiada perawatan yang rutin tumbuhan tersebut akan tumbang. “Kami anak negeri tak butuh belas kasih, yang kami butuhkan kesadaran diri kapada para pemimpin-pemimpin negeri ini.”
Jeritan Anak Negeri
Kalian yang disini selalu ribut
Banjir sedikit demo
BBM naik sedikit demo
Harga naik sedikit demo
Selalu berteriak-teriak sangat keras
Suara kalian mengganggu
Manghalangi jeritan anak negeri
Tangisan anak dara di pelosok negeri
Anak-anak dari pelosok negeri menangis
Ingin punya aspal untuk bermain kreta tarik
Ingin punya aspal biar kaki tak terantuk batu jalanan
Suara mereka tentang harapan
Tentang kebijakan pemerintah.

Martenius Jalik 2019
Suarabaya Jawa Timur Indonesia

Jalan Elar Selatan Manggarai Timur